Dalam bayang-bayang ketidakpastian ekonomi global, banyak individu dan organisasi tengah menghadapi tantangan besar—resesi. Pemangkasan anggaran, penurunan daya beli, tekanan performa, hingga burnout menjadi realitas yang tak lagi bisa disangkal. Di tengah badai ini, coaching hadir bukan sebagai pelarian, tapi sebagai pendekatan strategis yang memungkinkan individu dan tim menemukan kembali pusat kendali mereka.
Menurut survei yang dilakukan oleh International Coaching Federation (ICF) pada 2023, 86% individu yang menjalani proses coaching mengaku mengalami peningkatan kepercayaan diri, sementara 70% menyatakan coaching membantu mereka meningkatkan kinerja di tengah tekanan pekerjaan. Ini bukan angka kecil, ini representasi nyata bahwa coaching bekerja secara praktis dan transformatif.
Coaching berperan penting dalam membantu individu menghadapi resesi bukan dengan menghindar, melainkan dengan menyadari ulang kapasitas, pilihan, dan nilai-nilai internal yang seringkali terabaikan dalam tekanan ekonomi. Di sinilah esensi coaching muncul: bukan untuk memberi solusi, tapi memfasilitasi klien menciptakan solusi terbaik mereka sendiri—yang paling sesuai dengan konteks hidup dan kerja mereka.
Salah satu tantangan terbesar saat resesi adalah perasaan stagnan dan kehilangan arah. Coaching mampu membalikkan keadaan ini dengan menciptakan ruang refleksi yang aman dan terfokus. Melalui pertanyaan yang tepat, coach membantu klien mengurai benang kusut antara tekanan eksternal dan kebutuhan internal.
“In the middle of difficulty lies opportunity.” – Albert Einstein
Resesi adalah situasi yang sulit, namun bukan akhir dari perjalanan. Coaching membantu individu tidak hanya untuk bertahan, tapi juga bertumbuh melalui masa-masa sulit. Di tengah kabut resesi, coaching adalah lentera yang membawa kita kembali kepada kekuatan diri.
“Coaching is unlocking a person’s potential to maximize their own performance.” – Sir John Whitmore
Kini bukan saatnya menyalahkan situasi, tapi bertanya: Apa yang bisa saya lakukan dari titik ini? Coaching adalah tempat dimulainya pertanyaan itu—dan tempat ditemukannya jawaban-jawaban baru.

Coaching dan AI: Antara Kecerdasan Buatan dan Sentuhan Manusia
Di tengah gelombang kecanggihan algoritma dan jutaan baris kode yang hidup di balik layar, coaching kini berdiri di persimpangan. Artificial Intelligence (AI) bukan lagi sekadar alat bantu, tetapi telah menjelma sebagai mitra berpikir dalam ruang belajar dan refleksi. Namun, di sinilah kita perlu berhenti sejenak—untuk bertanya, bukan pada logika, tapi pada nurani: Apakah coaching masih relevan dalam dunia yang semakin didikte oleh mesin?
Jawabannya: justru sekarang coaching makin dibutuhkan.
AI memiliki kemampuan luar biasa untuk memproses data, mengenali pola, bahkan memberikan insight yang presisi dalam hitungan detik. Platform coaching berbasis AI kini bisa menyajikan analisis percakapan, menyusun pertanyaan berbobot, dan bahkan merekomendasikan intervensi berdasarkan kecenderungan klien. Namun, meski AI mampu membaca kata, ia belum tentu memahami makna. Ia bisa mengenali suara yang bergetar, tapi belum tentu bisa merasa alasan di baliknya.
“Technology is best when it brings people together.” – Matt Mullenweg
Bayangkan ini: Seorang coach memanfaatkan AI untuk membaca transkrip sesi sebelumnya, memetakan tema besar, dan mengidentifikasi pola-pola emosi klien. Lalu ia hadir di sesi, bukan hanya dengan data, tetapi dengan hati. Ia bertanya bukan untuk mencari jawaban cepat, tapi untuk membuka ruang kontemplasi.
Dalam simfoni coaching masa kini, AI adalah alat musik tambahan—namun konduktornya tetap manusia.
“What makes coaching transformative is not just the clarity of insight, but the warmth of presence.”
AI mungkin bisa mempercepat proses, tapi hanya kehadiran manusia yang bisa memperdalamnya. Karena pada akhirnya, coaching bukan hanya soal bergerak lebih cepat—melainkan bergerak lebih dalam.
Tetap terhubung dengan nsight dari Sosial Media Loop Institute of Coaching, klik disini!